Rabu, 19 November 2008

Dilema Ujian Nasional 2009

Menjelang Ujian Nasional

Siswa kelas tiga SMA pantas berdebar-debar, karena pada 22 April nanti mereka melaksanakan ujian nasional. Adik-adik mereka, di tingkat SMP maupun SD, bulan berikutnya bakal mengalami hal serupa.
Bagi sebagian siswa ujian nasional adalah hal biasa, tetapi bagi sebagian siswa lainnya, justru dianggap “momok” menakutkan. Pengalaman tahun lalu menunjukkan tak sedikit rasa takut itu menyergap siswa, sampai-sampai mereka musti berbuat anarki sebagai ekspresi ketakutannya.
Misalnya, di Jember siswa SMAN 2 Tanggul mengamuk lantaran guru pengawas mereka dinilai overacting dan mengganggu konsentrasi. Pengawas mereka, diburu sembari melempari sekolah itu, dan bahkan sang guru juga kena bogem. Amuk serupa nyaris terjadi di Ponorogo, Jawa Timur, gara-gara seorang guru pengawas menempeleng seorang siswa yang diketahui berusaha bertanya kepada temannya. Begitu pula di Sukoharjo, Jateng, seorang siswa mengamuk dengan melempari sekolahnya dan di Tasikmalaya siswa memblokade jalan menuju sekolah. Semua itu disebabkan kekecewaan para siswa atas tingkah laku guru pengawas.
Dari sekadar menyebut beberapa contoh itu, kita bisa mengetahui bahwa ujian nasional berubah menjadi teror bagi sebagian siswa. Ketika ujian negara dianggap sebagai teror maka kekerasan akan mendampinginya. Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, instrumen kekerasan bisa digunakan untuk menyampaikan atau merespons teror. Dalam kasus sejumlah siswa itu, mereka merespons teror dengan kekerasan. Dan, para guru pengawas yang dianggap mereka sebagai komponen teror itu, menjadi sasaran kekerasan.
Mengapa siswa dilanda ketakutan? Ini bisa dipahami karena ujian nasional seolah-olah menjadi penentu. Jika nilai rata-rata kelulusan di bawah 5,25 berarti hasil test selama menjalani pendidikan seolah sia-sia. Oleh karena itu, siswa yang “ahli strategi” ia akan menggenjot pada ujian nasional ini, dan hanya berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diujikan. Inilah dilema ujian nasional yang senantiasa diributkan oleh kalangan pendidik salama ini.
Sementara strategi orang tua adalah bagaimana anaknya bisa berlatih soal secara terus menerus. Anak itu bisa dilatih di sekolah atau di luar sekolah yang lazim disebut sebagai bimbingan belajar. Inilah ironi, sekolah seolah tak cukup untuk memberi bekal kepada anak didik sehingga masih perlu ditambah di luar jam sekolah. Celakanya, bimbingan belajar ini acapkali memanfaatkan situasi. Tahu para orangtua khawatir, mereka pun pasang tarif yang cukup mencekik orangtua. Berapapun nilainya, orangtua tetap saja berupaya mengucurkan biaya untuk bimbingan belajar dimaksud. Biasanya juga ditambah try out yang mematok harga tertentu.
Kita bisa menilai, ujian nasional seolah musiman. Maka dari itu, jangan-jangan para siswa hanya belajar saat menjelang ujian nasional. Selebihnya mereka memilih untuk berhura-hura. Asumsi mereka sederhana, nilai harian boleh buruk lantaran tidak belajar, tetapi hasil ujian nasional tetap diupayakan memenuhi standar.
Kekerasan siswa juga menunjukkan mata pelajaran terukur (sebagaimana mata pelajaran yang diujikan) pada akhirnya menyisihkan matapelajaran tak penting. Dalam kasus ini pendidikan budi pekerti pun jadi terabaikan. Kata siswa, buat apa belajar budi pekerti toh tak menjadi nilai penentu.
Akibatnya, siswa sekarang ini tumbuh menjadi generasi muda tak humanis. Lihatlah, kurikulum terukur nyaris tidak mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan. Kenyataannya kurikulum cenderung menomorduakan studi kemanusiaan. Para humanis menyebutnya sebagai studia humanistis, yaitu studi-studi yang selaras dan patut dilakukan manusia. Cakupannya antara lain retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral. Tetapi, buat apa belajar itu semua? Ujian nasional tak pernah mempersoalkan itu. Kelulusan siswa tak musti dilihat moral mereka. Inilah yang disayangkan, ujian nasional mengabaikan hal-hal penting ini. Entahlah, kapan pemerintah mau mendengarkan saran para pendidik senior.

Sumber: Harian Joglo Semar


Tidak ada komentar:

 

Ratri's Blog © 2008. Design By: SkinCorner